Pekan Olahraga Nasional

By Anonymous - September 09, 2012

Kisah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) pada awalnya merupakan ajang multi cabang empat tahunan ini dijadikan ruang untuk membangun persatuan bangsa. Sekaligus diharapkan bisa mengirimkan pesan kepada dunia luar bahwa Indonesia bersatu.

Kini PON lebih dipahami sebagai ajang adu gengsi antarprovinsi untuk menjadi juara umum. Tak heran, atlet tua pun ikut dipertandingkan, karena yang penting dapat medali.

“PON dulu itu dibentuk sebagai ajang untuk pemersatu bangsa dari berbagai provinsi," tutur Ian Situmorang, wartawan senior olahraga.

Namun sayangnya, lanjut dia, pesta olahraga yang pertama kali digelar pada 1948 di Solo itu, belum menujukan sebagai ajang pembinaan prestasi yang baik. “Bahkan penyelenggaraannya juga masih buruk. Padahal sudah 64 tahun,” ujarnya. Sejatinya sudah seharusnya semangat PON berubah menjadi ajang pencarian bakat.

Secara resmi, PON pertama yang digelar di Solo tiga tahun setelah Kemerdekaan Indonesia itu memang dicatat sebagai kegiatan yang pertama kali dilakukan. Namun cikal-bakalnya sudah ada sejak 10 tahun sebelumnya, yaitu pada 1938.

Ketika itu, pekan olahraga tersebut di bawah naungan Ikatan Sport Indonesia (ISI), yang diberi nama: ISI Sport Week atau Pekan Olahraga ISI. Kegiatan ini digagas oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo, warga Indonesia yang sekolah di Eropa - diabadikan menjadi Piala Soeratin, kejuaraan liga sepak bola di bawah usia 18 tahun.

Sayangnya, baru sekali dilaksanakan, ISI Sport Week berhenti lantaran masuknya penjajahan Jepang. Tekanan penjajah ini membuat ajang kompetisi olahraga itu tak bisa dilanjutkan.

Sejarah 1938 terulang kembali pada penyelenggaraan PON VI yang sudah ditetapkan di Jakarta pada November 1965. Peritiwa politik yang dikenal dengan Gerakan 30 September - sebulan setengah sebelum penyelenggaraan - meledak. Rencana penyelenggaraan pun dibatalkan.

Padahal pada PON kali itu babak baru dunia olah raga belum lama dimulai. Pada 1962 misalnya, kompleks kegiatan olah raga yang dikenal dengan Gelanggang Olah raga (Gelora) Senayan - kini Gelora Bung Karno - baru diresmikan.

Kemudian, Agustus 1964, Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI) - sekarang dikenal dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), khusus dibentuk guna menangani PON VI. Tapi apa daya sejarah pesta olah aga nasional harus terputus pada tahun itu akibat peristiwa politik.

Namun PON VI tetap tertulis sudah terselenggara, tanpa pertandingan dan tanpa juara. Sebab periode selanjutnya yang digelar pada 1969 di Surabaya, Jawa Timur, sudah disebut sebagai PON VII. Kali itu, Provinsi DKI Jakarta menjadi juara umum.

Dalam sejarah penyelenggaraannya, Ibu kota menjadi kontingen yang paling sering menjadi juara umum PON, yaitu sebanyak 10 dari 16 kali kegiatan. Sisanya milik Jawa Barat tiga kali, Jawa Timur dua kali, serta Jawa Tengah sekali.

Penyelenggaraan PON juga diwarnai perpindahan atlet. Pada kasus terakhir untuk PON XVIII yang sebentar lagi berlangsung misalnya, atlet tenis meja Yon Mardiono yang dua kali (PON 2004 dan 2008) membela Jawa Tengah, tahun ini menjadi perwakilan Riau. Alasannya soal jaminan kesejahteraan.

Prestasi yang dicatat saat membela Jawa Tengah pada 2004 adalah dua medali emas. Kemudian pada 2008, medali perunggu yang dibawa pulang.

Kisah perpindahan atlet yang dikenal dengan aturan mutasi – pindah dari satu provinsi ke provinsi lain, ini memang bukan cerita baru. Pada penyelenggaraan sebelumnya juga kerap terdengar dan terjadi.

Boleh jadi, inilah dampak yang disebut Ian Situmoran sebagai lengketnya primordialisme dalam ajang PON. Bagi daerah, menjadi juara adalah segala-galanya. Iming-iming bonus pun dijadikan andalan, termasuk “membajak” pemain.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments